Orangtua yang otoriter biasanya orangtua yang menerapkan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa menjelaskan kepada anak maksud dari peraturan yang ada. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima anak-anak dengan alasan terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orangtua yang telah membesarkannya. Anggapan ini memberi kesan bahwa orangtua memaksakan kehendaknya kepada anak untuk mengikuti standar nilai perilaku yang orangtua anggap baik. Bruce Norramere menyatakan,
Baca Juga: Perayaan Hari Raya Imlek 2019
“Orangtua yang otoriter adalah penguasa yang absolute dan perintahnya didalam keluarga tidak dapat ditawarkan. Ia menganggap dirinya berhak bukan hanya untuk memimpin dan mengarahkan anak-anaknya, tetapi juga mencoba untuk membentuk mereka dengan cara apapun yang diperlukan agar menjadi sebagaimana yang diinginkan anak.” (Bruce Norramere, 1980: 24)
Dengan memperhatikan pernyataan di atas, jelas bahwa orangtua yang otoriter adalah orangtua yang ingin berkuasa sendiri dan memiliki sikap sewenang-wenang terhadap anaknya. Segala kekuasaan mutlak ada ditangan orangtua. Singgih D. Gunarsa menyatakan, “Dengan cara otoriter, ditambah dengan sikap yang keras, menghukum dan mengancam, akan menjadikan anak patuh dihadapan orangtua, tetapi dibelakangnya dia akan memperlihatkan reaksi-reaksi, misalnya menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi dan melawan bisa ditampilkan melalui tingkah laku yang melanggar-norma-norma dan yang menimbulkan persoalan dan kesulitan baik kepada diri sendiri maupun di lingkungan rumah, sekolah dan pergaulannya”. (Singgih D. Gunarsa, 2004: 82)
Hal ini menjelaskan bahwa pendiplinan dengan cara otoriter akan membentuk anak menjadi pemberontak terhadap orangtua dan bukan menjadi anak yang penurut. Sikap orangtua yang otoriter dalam mendisiplinkan anak akan mengakibatkan hilangnya kebebasan anak dalam beraktivitas dan pada akhirnya kemampuan anak menjadi tumpul. Hal ini sangat berpengaruh pada anak terutama pada perilaku hidupnya. Jadi, menerapkan disiplin secara otoriter merupakan suatu cara yang tidak baik pada anak. Anak semestinya diberikan kebebasan dan bimbingan yang penuh dengan pengertian dan kasih sayang.
Ada beberapa cara yang umum digunakan oleh orang tua untuk mendisiplinkan anak-anak dan remaja, yaitu:
1. Pendengar yang baik
Komunikasi adalah penyampaian suatu informasi dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam komunikasi itu, ada pihak yang berbicara dan ada pihak yang mendengarkan. Pihak yang mendengarkan akan mendapatkan informasi dan kemudian akan mengerti informasi yang disampaikan oleh pihak yang berbicara.
Untuk dapat mengerti informasi yang disampaikan oleh seorang anak, orangtua harus menjadi pendengar yang baik. Menjadi pendengar yang baik merupakan figur yang disukai dan disenangin oleh anak pada orangtuanya. Questin J. Schultze menyatakan, “Mendengarkan juga suatu hal yang penting untuk membina hubungan kasih dalam keluarga. Terlalu banyak orangtua yang menghabiskan waktunya untuk berbicara pada anak-anak mereka, tetapi terlalu sedikit waktu yang diberikan untuk mendengarkan mereka” (Questin J. Schultze, 1996 :12). Pernyataan di atas, menjelaskan bahwa orangtua bukan hanya memberi nasehat saja, mendidik dan membimbing dengan baik dan benar, tetapi orangtua juga harus memberikan waktu untuk mendengarkan apa yang menjadi keluhan, masalah, keinginan, dan harapan anak.
Kadangkala orangtua sering lupa dan menganggap informasi dari anak¬anaknya tidak begitu penting untuk didengarkan sehingga sering mengabaikan jika anak mau berbicara tentang keluhan-keluhannya. Orangtua juga sering memberikan alasan dengan sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak bisa memberikan waktunya untuk mendengarkan informasi-informasi dari anak.
“Banyak sekali manfaat bagi anak dari sikap orangtua yang selalu mendengarkan secara efektif antara lain: a. Membantu anak meningkatkan rasa percaya diri untuk mengungkapkan sesuatu, b. Mengajarkan kepada anak bahwa kita menghormatinya, c. Dapat mengerti perasaan anak, d. Meringankan beban perasaan anak, e. Membantu melihat akan permasalahan yang sering dialami anak dan jika bisa memberinya jalan pemecahnnya, f. Dapat membuat hubungan anak dengan orangtua semakin akrab, g. Anak tidak akan mencari solusi lain yang salah untuk dijadikan sebagia tempat curhat hati” (Abdulla Bin Abbas, 2007: 115).
Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa waktu yang diluangkan orangtua bersama dengan anak sangat bermanfaat bagi anak baik dalam hubungan dengan orangtua maupun dalam ia menyelesaikan satiap persoalan-persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan waktu untuk menemani anak, mendengarkan berbagai keluhan, permasalahan dan keinginan seorang anak.
2. Tidak Bertindak Otoriter
Seringkali orangtua cenderung beranggapan bahwa menjadi orangtua yang bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka orangtua harus memberikan pembinaan sikap yang baik sesuai dengan keinginannya. Orangtua menginginkan anaknya berperilaku sesuai dengan apa yang mereka ajarkan dan melakukan segala sesuatu sesuai dengan apa yang mereka perintahkan. Orangtua juga mengharuskan anaknya mempunyai sikap yang sesuai dengan keinginan hatinya. Anggapan terkesan memaksakan anaknya untuk mengikuti standar nilai perilaku yang dianggap orangtua baik. orangtua yang seperti ini lebih cenderung disebut orangtua yang otoriter. BK. Narayan menyatakan,
“orangtua yang otoriter adalah orangtua atau pengaruh memberikan peraturan-peraturan pada anak dan mematuhinya. Tidak ada penjelasan pada anak mengapa ia harus mematuhi perintah dan anak tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mematuhi aturan itu jika ia tidak mau dihukum”. (BK. Narayan, 2009 : 86)
Dari pernyataan di atas jelas bahwa orangtua yang otoriter adalah orangtua yang memaksakan kehendaknya kepada anaknya, yang artinya segala sesuatu yang menyangkut diri anak harus atas keinginan orangtua. Jika anak tidak mematuhi peraturan atau perintah dari orangtua, maka anak akan dihukum. Oleh karena itu jika orangtua terus memaksakan kehendaknya kepada anak yang sesuai dengan aturan dari orangtua maka ketika anak mengalami masalah maka anak tidak mampu untuk mengatasinya. Anak akan berkecil hati dan tidak percaya diri dalam menjalani hidupnya atau anak akan memberontak melawan orangtua karena merasa ia terlalu di kekang dalam menentukan sikapnya. Dengan demikian memberikan disiplin secara otoriter kepada anak-anak atau dengan paksaan serta keras akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak bermanfaat sama sekali dalam pembentukan sikap anak.
Sikap orangtua yang keras akan menjadikan pribadi seorang anak menjadi pribadi yang keras bahkan menjadi pemberontak. Dengan sikap orangtua yang otoriter akan mengakibatkan hilangnya kebebasan, inisiatif dan aktivitas anak menjadi tumpul. Hal ini menggambarkan bahwa memberikan disiplin yang otoriter merupakan suatu cara yang tidak ideal yang diterapkan pada diri anak, anak semestinya diberikan kebebasan dan bimbingan yang penuh pengertian sehingga anak merasa bahagia. Pada dasarnya, menanamkan disiplin dengan meyakinkan tanpa ada paksaan dan kekerasan akan membuat anak menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Dengan demikian, orangtua harus menjauhkan sikap yang otoriter dalam menanamkan disiplin pada anak sebab dengan cara tersebut bukan suatu cara yang baik dalam pembentukan sikap anak. Tuhan memberikan wewenang kepada orangtua untuk mendidik anak dengan penuh kasih bukan dengan cara paksaan melainkan mendidik dengan penuh kasih dan pengertian.
3. Menjadi Patner diskusi dan tempat pencurahan perasaan anak
Ketika pertama kali anak memasuki usia sekolah, anak mengalami dan merasakan berbagai pengalaman baru di lingkungan sekolahnya. Pengalaman anak dapat berupa pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Anak mengalami situasi yang baru di sekolah, teman-teman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, guru yang ramah maupun yang tidak dan kegiatan-kegiatan yang baru di sekolahnya. Dalam hal ini, jelas bahwa anak membutuhkan seseorang yang menjadi pendengar dalam menceritakan pengalaman-pengalaman yang baru di alaminya di sekolah. Orangtua sebagai sosok yang paling dekat dengan anak seharusnya dapat menjadi tempat yang tepat bagi anak-anaknya dalam mencurahkan perasaan dan isi hatinya (Chairrinza Graha, ,2008 : 5). Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak sangat merindukan orangtuanya menjadi patner dan tempat mencurahkan perasaan isi hatinya.
Dengan demikian, setiap orangtua hendaknya menjadi petner yang baik untuk anak-anak karena anak merindukan orangtuanya menjadi tempat mencurahkan isi hatinya. Dengan cara ini, dapat membantu anak menyelesaikan segala permasalahan dan persoalan yang ia hadapi dan membuat hubungan orangtua dan anak dapat terjalin dengan baik.
4. Menjadi Orangtua Yang Demokratis
Pola pendisiplinan orangtua yang demokratis adalah pendisiplinan yang memprioritaskan kepentingan anak dan memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan serta tidak berharap yang berlebihan yang melampauhi kemampuan anak (Singgih D. Gunarsa dan Yulia D. Gunarsa, 2008:10). Dari pernyataan di atas jelas bahwa pendisiplinan yang demokratis memperlihatkan dan menghargai kebebasan anak. Namun, kebebasan yang diberikan bukan kebebasan yang mutlak tetapi anak di bimbing dengan pengertian oleh orangtua sehingga anak dengan orangtua saling mengerti dan memahami satu dengan yang lainnya.
Pola pendisiplinan yang demokratis akan memberikan dampak yang positif kepada anak misalnya anak mandiri, bertanggung jawab, kreatif, mudah kerjasama dengan orangtua, dan ramah terhadap orang lain. Oleh karena itu, pola pendisiplinan yang demokratis memberikan dampak yang baik bagi anak maka pola pendisiplinan perlu di terapkan.
1). Berorientasi pada kasih sayang
Pola pendisiplinan yang berorientasi pada kasih sayang. Orangtua memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan sesuatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat akrab dan bersahabat. Pengawasan¬pengawasan yang diberikan orangtua dalam mendisiplinkan anak diterapkan dengan fleksibel. Hal ini dilakukan untuk memancing sikap terbukan dan tanggung jawab anak, sehingga diharapkan apapun yang dilakukan anak dapat diketahui oleh orangtua. Orangtua yang demokratis adalah orangtua yang menjalin persahabatan dalam mendisiplinkan anak, memiliki kesabaran dan kegigihan dalam mengasuh dan mendidik anak, sehingga anak merasa dihargai sebagai seorang individu. Anak yang memiliki orangtua yang bersikap demokratis cenderung bisa menghargai dirinya sendiri dan orang lain.
2). Menghargai pendapat anak
Pendisiplinan anak yang demokratis sangat menghargai pendapat apabila sesuai dengan norma orangtua, maka akan disetujui untuk dilakukan sebaliknya. Jika pendapat dan keinginan anak tidak sesuai, maka orangtua memberikan keterangan sambil meyakinkan perbuatan anak. Oleh karena itu, orangtua memberikan kebebasan kepada anak dan menghargai pendapatnya.
3). Menjadi sahabat
Pendisiplinan anak yang demokratis harus bersahabat dimana orangtua menghargai pendapat dan perasaan anak. Setiap anak menginginkan orangtua menjadi sahabat dan tempat untuk mengadu. Anna Yulia menyatakan, “Ada satu hal lagi yang anak perlukan, terutama jika ia tidak punya teman sebayanya atau jika anak-anaknya memasuki masa remaja, yaitu menjadikan dirinya menjadi teman anak.” (Anna Yulia Singgih, 47). Dari pernyataan di atas menjelaskan bahwa anak merindukan orangtua menjadi sahabatnya dan orangtua menjadi sahabatnya. Dengan demikian, orangtua hendaknya menjadi sahabat anak-anaknya bukan menjadi musuh. Orangtua tidak boleh membuat batasan-batasan dengan alasan supaya anaknya segan kepada orangtuanya. Akan tetapi, kehangatan kasih sayang hendaknya dikomunikasikan disela-sela disiplin.
Semoga bermanfaat
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.